BAB 2
TEORI MOTIVASI HIRARKI
KEBUTUHAN MASLOW
2.1 Pengertian Teori Motivasi Hirarki Kebutuhan Maslow
Perlu
dikemukakan terlebih dahulu bahwa minat yang semakin intensif para ilmuan
terhadap masalah-masalah motivasi dalam kaitannya dengan pemuasan kebutuhan
manusia yang semakin lama semakin kompleks itu timbul dan berkembang atau
meluas bersamaan dengan timbulnya “Gerakan Human Relation” dalam administrasi.
Salah
seorang pelopor yang mendalami teori motivasi adalah H.Maslow yang berkarya
sebagai ilmuan dan melakukan usahanya pada pertengahan dasawarsa
empatpuluhan.Telah umum diketahui bahwa hasil-hasil pemikirannya kemudian
dituangkannya dalam buku berjudul “Motivation and Personality”.Sumbangan Maslo
mengenai teori motivasi sampai dewasa ini tetap diakui,bukan hanya dikalangan
teoritis,akan tetapi juga dikalangan praktisi.
Konsep
hirarki kebutuhan dasar ini bermula ketika Maslow melakukan observasi terhadap
perilaku monyet.Berdasarkan pengamatannya,didapatkan kesimpulan bahwa beberapa
kebutuhan lebih diutamakan dibandingkan dengan kebutuhan yang lain. Contohnya
jika individu merasa haus, maka individu akan cenderung untuk mencoba memuaskan
dahaga Individu dapat hidup tanpa makanan selama berminggu-minggu.Tetapi tanpa
air, individu hanya dapat hidup selama beberapa hari saja karena kebutuhan akan
air lebih kuat daripada kebutuhan akan makan.
|
Keseluruhan
teori motivasi yang dikembangkan oleh Maslow beritikan pendapat yang mengatakan
bahwa kebutuhan manusia itu dapat diklasifikasikan pada lima hirarki
kebutuhan,yaitu :
1.
Kebutuhan fisiologis
2.
Kebutuhan akan keamanan
3.
Kebutuhan sosisal
4.
Kebutuhan “esteem”
5.
Kebutuhan untuk
aktualisasi diri
Kebutuhan fisiologis.perwujudan
paling nyata dari kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan-kebutuhan pokok manusia
seperti sandang,pangan dan perumahan.Kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan
yang paling mendasar bukan saja karena setiap orang membutuhkannya terus enerus
sejak lahir hingga ajalnya,akan tetapi juga karena tanpa pemuasan bebagai kebutuhan tersebut seorang tidak dapat
dikatakan hidup secara normal.Berbagai kebuttuhan fisiologis itu berkaitan
dengan status manusia sebagai insan ekonomi.Kebutuhhan itu bersifat universal
dan tidak mengenal batas
geografis,asal-usul,tingkat pendidikan,tingkat sosial,pekerjaan atau
profesi,umur,jenis kelamin,dan factor-faktor lainnya yang menunjukan
seseorang.Hanya saja memang harus diakui adanya perbedaan dalam kemampuan untuk
memuaskan berbagai kebutuhan tersebut.Gejala umum yang jelas terlihat ialah
bahwa meningkatkannya kemampuan seseorang untuk memuaskan berbagai kebutuhan
tersebut cenderung mengakibatkan terjadinya pergeseran pendekatan yang sifatnya
kuantitatif menjadi pendekatan yang kualitatif.
Misalnya dalam hal pangan. Seseorang yang kemampuan ekonominya
masih rendah, kebutuhannya akan pangan biasanya masih sangat sederhana dan
pemuasannyapun biasanyadilakukan dengan kriteria “asal kenyang”. Berarti apa
yang oleh ahli gizi disebut sebagai makanan yang seimbang biasanya belum
terpikir olehnya. Istilah-istilah seperti “empat sehat lima sempurna”, protein,
kalori, vitamin, mineral, sumber nabati, sumber hewani dan lain sebagainya
baginya hanya merupakan istilah-istilah yang hanya ada arti bagi orang lain – seperti
para ahli gizi dan orang-orang berada – tetapi tidak mempunyai makna dalam
kehidupan. Jenis makanannyapun berkisar pada “yang itu-itu” saja, sehingga apa
yang disebut dengan diversifikasi menu mungkin dirasakan tidak perlu
dipahaminya. Pendekatan demikian tidak berarti bahwa orang-orang yang kemampuan
ekonominya rendah itu tidak ingin memuaskan kebutuhan pangannya dengan
pendekatan lain. Hanya saja kemampuan untuk itu tidak ada, terutama sebagai
akibat dari penghasilan yang tidak memungkinkannya berbuat demikian. Akan
tetapi bila akan kemampuan memuaskan kebutuhan akan pangan meningkat, biasanya
pendekatan yang tadinya kuantitatif diusahakan berubah menjadi pendekatan
kualitatif. Lain halnya dengan orang-orang yang tinggi dengan kemampuan
ekonominya. Bagi mereka sejak semula pendekatannya bersifat kualitatif, bahkan
kadang-kadang menjurus kepada pemuasan yang bersifat redundan. Hal ini terbukti
dari cara-cara memuaskan kebutuhan pangan itu yang digunakan oleh para anggota
masyarakat di negara-negara maju. Telah umum diketahui bahwa karena tingkat
kemakmuran yang relatif tinggi yang telah mereka capai, para anggota masyarakat
tersebut memuaskan kebutuhan pangannya dengan cara-cara yang “berlebihan” yang
sering berakibat pada berbagai hal yang ternyata negatif bagi kesehatan seperti
obesitas, tingkat kolesterol yang tinggi dalam darah, serangan jantung dan lain
sebagainya. Telah terbukti pula bahwa di negara-negara yang sedang
berkembangpun hal-hal negatif yang sama sering-sering terlihat pula pada mereka
yang termasuk sebagai golongan mampu. Yang jelas ialah bahwa terlepas dari
tingkat kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu masyarakat bangsa, pangan
merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat mendasar.
Demikian pula halnya sedang. Sebagaimana halnya dengan pangan,
sedang merupakan kebutuhan manusia yang sifatnya universal. Artinya, kebutuhan
akan sandang segera timbul begitu seorang lahir dan tetap merupakan kebutuhan
selama seseorang hidup, tidak peduli dimana seorang bermukim. Tidak dapat disangkal
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pendekatan ekonomi, iklim, pekerjaan atau
profesi, status sosial, bahkan tradisi atau kebudayaan masyarakat dimana
seseorang menjadi anggota. Apabila kemampuan ekonomi seseorang masih rendah,
kemampuan sandangnya akan dipuaskan sekedarnya saja, dalam arti jumlah dan
mutu. Akan tetapi dalam hal demikianpun, faktor-faktor lain yang telah
diidentifikasikan di atas tetap harus diperhitungkan. Artinga, pemuasan
kebutuhan sandang “sekedarnya” mempunyai arti yang lain seseorang yang tinggal
di daerah tropis dengan seseorang yang tinggal di daerah sub tropis atau di
daerah empat musim. Akan tetapi bila
kemampuan ekonomi seseorang meningkat, pemuasan kebutuhan akan sandangpun
biasanya ditingkatkan, baik dalam arti jumlahnya maupun mutunya. Tentu
situasinya lain bagi mereka dengan tingkat kemampuan ekonomi yang tinggi.
Pendekatannya serta merta bersifat kualitatif, bahkan sering pendekatan
kualitatif itu digabung dengan pendekatan estetika, misalnya busana dengan
berbagai asesorisnya. Jenis pekerjaan seseorangpun turut menentukan bentuk
kebutuhannya akan sandang. Pakaian yang dibutuhkan seorang petani akan berbeda
dari pakaian yang dibutuhkan oleh pekerja di pabrik. Seorang perawat wanita
memerlukan jenis pakaian yang lain dibandingkan dengan pakaian seorang wanita
yang menangani hubungan masyarakat. Seorang buruh tambang yang bekerja di bawah
tanah memerlukan pakaian yang lain dari seorang pramuniaga di satu toko
swalayan. Demikian seterusnya. Sedikit banyak status sosial seseorang berperan
pula dalam menentukan tingkat kebutuhannya akan sandang. Biasanya semakin
tinggi status sosial seseorang, semakin besar pula kebutuhannya akan aneka
ragam pakaian. Demikian pula halnya dengan adat istiadat. Keterlibatan
seseorang dalam upacara adat, tergantung pada status dan peranannya dalam
upacara itu menentukan jenis busana yang diharapkan digunakannya. Artinya di
setiap masyarakat terdapat ketentuan, tertulis atau tidak, tentang cara-cara
berpakaian apabila mebfhadiri upacara adat tertentu. Ketentuan itu terdapat
mulai dari masyarakat pedesaan hingga upacara kenegaraan dan resepsi
diplomatik. Mereka yang mendapat undangan untuk berbagai upacara tersebut
biasanya sudah mengetahui pakaian apa yang tepat digunakan untuk menghadiri
upacara demikian. Berarti bahwa semakin banyak jenis upacara formal yang harus
dihadiri oleh seseorang semakin beraneka ragam pula jenis pakaian yang perlu
dimilikinya.
Hal senada dapat dikatakan
tentang pemuasan kebutuhan akan tempat tinggal. Seseorang yang tingkat
perekonomiannya rendah, kebutuhan akan perumahan dapat dikatakan masih sangat
sederhana, dalam arti sekedar terlindung dari panas matahari, hujan dan
kelembaban udara malam hari. Sekedarnya di sini biasanya juga berkaitan dengan
ukurab tempat tinggal, lokasinya dan bahan yang digunakan. Ada kalanya dalam
pemuasan kebutuhan itu bagi mereka yang tingkat kemampuannya rendah, berbagai
kriteria seperti lingkungan yang sehat, tersedianya air bersih, dari lokasi dan
lain sebagainya terpaksa belum bisa diperhitungkan. Bukan karena tidak ingin
menikmatinya, akan tetapi karena kemampuanlah yang membatasi. Akan tetapi
apabila kemampuan seseorang meningkat, ia akan terdorong untuk memikirkan
pemuasan kebutuhan perumahan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif sekaligus.
Misalnya dengan memperluas lantai rumahnya, menambah jumlah kamar dalam rumah,
mengganti perabot dan lain sebagainya. Kemampuan yang tinggi lagi tidak
mustahil mendorongnya lebih tinggi lagi tidak mustahil mendorongnya pindah ke
lokasi baru karena berbagai pertimbangan seperti kawasan yang tidak kumuh,
tidak bergengsi, tersedianya lebih banyak fasilitas hidup seperti air bersih,
sarana angkutan, sarana olah raga, listrik, sarana perhubungan dan lain
sebagainya. Bahkan apabila kemampuan seseorang sangat tinggi, pemuasan yang
bersifat kuantitatif dan kualitatif itu meningkat pula. Misalnya secara
kuantitatif, bahkan hanya tempat tinggal yang sehari-hari didalaminya yang
diperluas dan menggunakan bahan bangunan yang bermutu tinggi, akan tetapi juga
memilikinya lebih dari satu.
Banyak orang mampu yang memiliki lebih dari satu rumah. Di samping
rumah yang ditinggalinya sehari-hari, mungkin ia memiliki “rumah
peristirahatan” di daerah pegunungan atau daerah pantai yang digunakannya pada
hari-hari libur atau pada akhir pekan.
Perlu ditekankan bahwa sikap demikian adalah sikap normal dan
wajar. Manajer dalam organisasi perlu menyadari hal itu. Artinya merupakan hal
yang wajar apabila para pekerja berkeinginan untuk meningkatkan kemampuan
ekonominya yang pada gilirannya memungkinkannya memuaskan berbagai kebutuhan
fisiologisnya dengan menggabung pendekatan kuantitatif dan kualitatif
sekaligus. Akan tetapi penting pula untuk menyadari bahwa manusia “tidak hanya
hidup dari nasi” saja. Manusia mempunyai berbagai kebutuhan lain di samping
pisiologis tersebut.
Kebutuhan Keamanan.
Kebutuhan keamanan harus dilihat dalam arti luas, tidak hanya dalam arti
keamanan fisik – meskipun hal ini aspek yang sangat penting – akan tetapi juga
keamanan yang bersifat psikologis, termasuk perlakuan adil dalam pekerjaan
seseorang. Karena pemuasan kebutuhan ini terutama dikaitkan dengan tugas
pekerjaan seseorang, kebutuhan keamanan itu sangat penting untuk mendapat
perhatian. Artinya, keamanan dalam arti fisik mencakup keamanan di tempat
pekerjaan dan keamanan dari dan ke tempat pekerjaan. Mungkin akan ada yang
mengatakan bahwa jaminan keselamatan seseorang di tempat tinggal dan dalam
perjalanannya menuju tempat kerjanya bukan urusan manajemen suatu organisasi.
Pendapat itu ada benarnyajika keamanan sebagai kebutuhan para pekerja diartikan
secara sempit. Akan tetapi pendapat tersebut tidak seluruhnya benar. Pengamatan
yang menunjukan bahwa banyak organisasi yang mengusahakan dan menyediakan
sarana angkutan bagi para pegawainya. Kebijaksanaan tersebut ditempuh tidak
sekedar untuk lebih menjamin bahwa para pegawai itu tiba di tempat tugas
masing-masing pada waktunya dan agar para pegawai berikan keamanan dan
kenyamanan bagi para pegawai tersebut dalam perjalanan menuju ke dan dari
tempat kerja masing-masing. Demikian pula halnya selama seseorang berada di
tempat pekerjaannya. Merupakan hal yang biasa apabila organisasi mengambil
berbagai langkah pengalaman seperti dipekerjakannya para petugas keamanan
(satpam), keharusan para tamu untuk melaporkan kedatangannya dan lain
sebagainya yang kesemuanya menunjukkan bahwa manajemen pada umumnya memandang
penting untuk memberikan rasa aman bagi para karyawan melaksanakan tugas
masing-masing. Pengecekan terhadap alat-alat yang digunakan adalah contoh lain
dari tindakan pengamanan itu. Keharusan menggunakan topi pengaman oleh mereka
yang sedang mana terdapat bahan-bahan kimia atau bahan lain yang mudah terbakar
adalah contoh lain. Diasuransikannya para karyawan yang melaksanakan
tugas-tugas tertentu, terutama mereka yang tingkat resiko okupasinya tinggi,
seperti buruh tambang yang bekerja di bawah tanah, awak pesawat dan lain
sebagainya merupakan salah satu bentuk pengamanan yang dimaksud.
Akan tetapi, seperti telah ditekankan di muka, kebutuhan akan keamanan
tidak bisa dilihat dari segi keamanan fisik para pekerja saja. Segi-segi
keamanan yang bersifat psikologis juga mutlak penting mendapat perhatian.
Perlakuan yang manusiawi dan adil adalah salah satu contohnya. Misalnya
keseimbangan kejiwaan seseorang akan terganggu apabila dia ditegur oleh
atasannya di hadapan orang banyak sehingga mengakibatkannya “kehilangan muka”.
Perlakuan demikian mengakibatkan harga diri seseorang turun. Seorang pekerja
akan menerima teguran atasannya dengan ikhlas apabila dilakukan dengan cara
yang tepat – misalnya dalam situasi “empat mata” – apalagi bila diterapkan
secara adil dalam arti semua orang yang berbuat kesalahan yang sama mendapat
teguran yang serupa pula. Keamanan juga menyangkut apa yang biasa disebut
sebagai “security of tenure”. Artinya terdapat jaminan bahwa seseorang tidak
akan mengalami pemutusan hubungan kerja selama yang bersangkutan menunjukkan
prestasi kerja yang memuaskan dan tidak melakukan berbagai tindakan yang sangat
merugilan organisasi. Memang bisa saja timbul keadaan yang mengakibatkan
manajemen terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja. Satu perusahaan yang
gulungtikar terpaksa melakukannya. Dalam keadaan terpaksa demikian para
pekerjapun biasanya akan dapat memahami tindakan seperti itu. Yang tidak
diinginkan adalah tindakan yang semena-mena dari pimpinan tanpa kriteria yang
jelas dan alasan yang sangat kuat. Keamanan fisik akan banyak artinya apabila
para karyawan merasa bahwa kebutuhan keamanan psikologis tidak terpenuhi. Hal
ini mempunyai dampak negatif yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan kurang
terpenuhinya kebutuhan akan keamanan fisik yang akan tercermin pada
produktivitas kerja yang merosot, tingkat kemangkiran yang tinggi, keinginan
pindah yang besar, kepuasan kerja yang rendah, tingkat “stress” yang tinggi,
disiplin kerja yang tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan organisasi,
konflik yang berlarut-larut dan tidak diselesaikan dari berbagai hal negatif
lainnya.
Pemuasan Kebutuhan Sosial. Telah umum diterima sebagai kebenaran universal bahwa manusia
adalah mahluk sosial. Dalam kehidupan organisasional manusia sebagai insan
sosial mempunyai berbagai kebutuhan yang berkisar pada pengakuan akan
keberadaan seseorang dan penghargaan atas harkat dan martabatnya. Biasanya
kebutuhan sosial tersebut tercermin dalam empat bentuk “perasaan”, yaitu :
a.
Perasaan
diterima oleh orang lain dengan siapa ia bergaul dan berinteraksi dalam
organisasi. Dengan perkataan lain ia memiliki “sense of belonging” yang tinggi.
Tidak ada seorang manusia normal yang senang merasa terasing dari kelompok di
mana ia menjadi anggota. Sebaliknya kegairahan kerjanya akan meningkat apabila
ia diterima sebagai anggota organisasi yang terhormat. Dengan perasaan demikian
ia akan berprilaku positif yang biasanya tercermin dalam kemauan memberikan
sumbangsih yang semakin besar kepada usaha organisasi untuk mencapai tujuannya.
b.
Harus
diterima sebagai kenyataan bahwa setiap orang mempunyai jati diri yang khas
dengan segala kelebihan dan keurangannya. Dngan jati dirinya yang khas itu
setiap orang merasa dirinya penting. Tidak ada manusia yang senang apabila
diremehkan. Artinya setiap orang memiliki “sense of importance”. Jika manajemen
mengingkari kenyataan ini bukan mustahil ia akan menghadapi berbagai kesulitan
dalam menggerakkan para bawahannya. Memang harus dijaga agar ego seseorang itu
tidak sedemikian menonjolnya sehingga tindak tanduk menjurus kepada pengutamaan
kepentingan diri sendiri dengan mengabaikan, apalagi mengorbankan kepentingan
orang lain, termasu kepentingan organisasi. Misalnya, merupakan hal yang sangat
baik apabila seorang manajer memberikan penekanan yang tepat bahwa tugas dan
pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang, betapapun rendahnya kedudukan orang
yang barsangkutan dalam hirarkhi jabatan dalam organisasi, mempunyai arti
penting dalam keseluruhan usaha pencapaian tujuan. Karena jika sampai seseorang
mempunyai persepsi bahwa ia tidak menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi
pencapaian tujuan, tidak mustahil ia akan kehilangan kepercayaan pada diri
sendiri. Keseluruhan kebutuhan yang bersifat sosial ini oleh para ahli
dirumuskan dengan kebutuhan afiliasi. Karena manusia adalah mahluk sosial,
kebutuhan afiliasi ini timbul secara naluriah. Karena sifatnya yang naluriah kebutuhan
ini sudah timbul sejak seseorang dilahirkan yang terus bertumbuh dan berkembang
dalam perjalanan hidupnya. Juga karena sifatnya naluriah keinginan
memuaskannyapun berada pada intensitas yang tetap tinggi. Karena itulah
terdapat kecenderungan orang untuk memasuki berbagai jenis organisasi yang
diharapkannya dapat digunakan sebagai wahana pemuasannya. Dikaitkan dengan
pemberian motivasi kepada pekerja, salah satu implikasi tuntutan pemuasan
kebutuhan ini ialah kewajiban manajer untuk menciptakan suasana kerja
sedemikian rupa sehingga interaksi positifantara para anggota organisasi
terjadi secara terus menerus. Dalam bahasa sehari-hari interaksi yang dimaksud
ialah agar hubungan para anggota suatu kelompok kerja dalam suatu organisasi
tidak hanya terbatas pada hubungan kekaryaan, tetapi meningkat menjadi hubungan
persahabatan yang sambil melaksanakan tugas masing-masing memberikan peluang
pula untuk memberikan interaksi yang bersifat pribadi. Contohnya adalahsebagai
barikut: di suatu perusahaan, seorang manager kepegawaian yang baru pulang dari
luar negeri dengan membawa gelar akademis tertentu, dalam usahanya meningkatkan
efisiensi kerja para sekertaris di perusahaan itu mengambil keputusan untuk
mengurangi waktu istirahat makan siang dari satu jam menjadi setengah jam.
Alasannya ialah bahwa karena perusahaan menyediakan kafetaria di mana para
pegawai makan siang, dan tidak perlu keluar, para sekertaris itu tidak
memerlukan waktu sampai satu jam untuk makan siang. Manajer yang bersangkutan
merasa yakin bahwa para sekertaris itu akan menerima keputusan baru itu dengan
gembira karena dengan demikian mereka akan dapat pulang lebih cepat setengah
jam ke rumah masing-masing. Ternyata para sekretaris itu menolak keputusan
tersebut. Penolakan itu begitu kuatnya sehingga manajer yang bersangkutan
merubah keputusannya dan memberlakukan keputusan yang lama, yaitu para
sekertaris istirahat selama satu jam untuk makan siang. Dalam pada itu manajer
tersebut melakukan penelitian mengapa terdapat penolakan yang begitu kuat
terhadap keputusan yang dipandang tepat itu. Hasil penelitian yang dilakukannya
menunjukkan bahwa memang benar para sekretaris itu tidak memerlukan waktu satu
jam untuk makan siang. Akan tetapi ternyata waktu istirahat itu mereka gunakan
untuk “socializing” antara lain dengan para sekretaris dari nbagian-bagian lain
pada kesempatan mana mereka tidak membicarakan hal-hal yang menyangkut
pekerjaan, akan tetapi hal-hal lain seperti mode pakaian, tontonan atau hiburan
apa yang menarik untuk dilihat, butik mana yang sedang obral dan hal-hal lain
yang biasanya menarik perhatian para wanita. Dengan pemahaman demikian, manajer
yang bersangkutan semakin sadar pentingnya pemenuhan kebutuhan akan afiliasi di
kalangan para bawahannya itu.
c.
Kebutuhan
akan perasaan maju. Dapat dinyatakan secara kategorikal bahwa pada umumnya
manusia tidak senang apabila menghadapi kegagalan. Para ahli memutuskan
kebutuhan ini sebagai “need for achievement”. Sebaliknya ia akan merasa senang
dan bangga apabila ia meraih kemajuan, apapun bentuk kemajuann itu. Menurut
teori “need for achievement”, ada orang yang tergolong “need achiever” dan
adapula yang tergolong sebagai “low achiever”. Karakteristik para bawahan,
sepanjang orientasinya mengenai tingkat keberhasilan, ternyata amat penting dikenali
karena mempunyai implikasi yang penting dalam berkarya, termasuk penempatan
seseorang. Misalnya dari berbagai penelitian yang dilakukan terbukti bahwa
seorang “high achiever” mempunyai karakteristik tertentu seperti : tidak senang
pekerjaan yang terlalu sukar atau terlalu mudah, melainkan menyenangi pekerjaan
yang kemungkinan keberhasilannya cukup besar. Seorang “high achiever” mempunyai
keinginan besar untuk segera memperoleh umpan balik apakah ia berhasil
menyelesaikan tugasnya atau tidak. Berarti serang “high achiever” cocok untuk
sesuatu tugas tertentu tetapi tidak untuk tugas lainnya. Jelas hal tersebut
berkaitan dengan teknik motivasi yang efektif.
d.
Kebutuhan
akan perasaan diikutsertakan atau “sense of participation”. Kebutuhan ini
terasa dalam banyak segi kehidupan organisasional, akan tetapi mungkin paling
terasa dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan tugas
seseorang. Sudah barang tentu bentuk pertisipasi itu dapat beraneka ragam
seperti dikonsultasikan, diminta memberikan informasi, didorong memberikan
saran atau pendapat dan sebagainya. Telah umum diakui bahwa pengikutsertaan
seseorang dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut nasib
dan pekerjaannya berdampak psikologis yang sangat kuat. Artinya, apabila seseorang
dilibatkan dalam menentukan hal-hal yang menyangkut dirinya, ia akan merasa
bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan sendiri. Jika perasaan itu
timbul, diharapkan bahwa yang bersangkutan akan mempunyai rasa tanggung jawab
yang lebih besar dalam melaksanakan keputusan yang diambil itu. Berbeda halnya
jika keputusan diambil pada hirarkhi organisasi yang lebih tinggi dan setelah
diambil disampaikan kepada pekerja untuk dilaksanakan. Dalam situasi demikian
para pelaksana biasanya tidak terlalu terasa terikat untuk melaksanakannya
dengan baik, apalagi kalau keputusan itu dipandang merugikan diri sendiri.
Inilah salah satu alasan untuk mengatakan bahwa gaya manajemen yang
partisipasif adalah gaya baik dan tepat digunakan, juga untuk kepentingan pemberian
motivasi.
Kebutuhan “Esteem”.
Salah satu ciri manusia ialah bahwa dia mempunyai harga diri. Karena itu semua
orang memerlukan pengakuan atas keberadaan dan statusnya oleh orang lain.
Keberadaan dan status seseorang biasanya tercermin pada berbagai lambang yang
penggunaannya sering dipandang sebagai hak seseorang, di dalam dan di luar
organisasi. Ternyata penggunaan lambang-lambang status tersebut dikenal baik di
lingkungan masyarakat yang disebut tradisional maupun di lingkungan masyarakat
yang sudah maju dan modern. Tentunya bentuk, jenis, aneka ragam dan penggunaan
lambang-lambang status tertentu berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat
lain, berbeda dari satu tempat ke tempat lain, berbeda dari satu organisasi ke
organisasi lain dan bahkan juga berbeda antara satu individu dengan individu
yang lain. Dikaitkan dengan organisasional, pada umumnya dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi kedudukan dan status seseorang dalam suatu organisasi dan di
lingkungan masyarakat semakin banyak pula simbol-simbol yang digunakannya untuk
menunjukkan status yang diharapkannya diterima dan diakui oleh orang orang
lain, baik secara langsung oleh mereka dengan siapa ia berinteraksi maupun
secara tidak langsung oleh berbagai pihak dengan siapa seseorang tidak
melakukan interaksi.
Berbagai pasilitas yang diterima oleh seseorang dalam kehidupan
organisasionalnya adalah salah satu bentuk simbol status seseorang dalam
organisasi. Sesuai dengan rumus yang telah dikemukakan diatas, merupakan
kenyataan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam suatu organisasi,
biasanya semakin banyak pula fasilitas yang diperolehnya dari organisasi.
Berbagai fasilitas tersebut beraneka ragam untuk sidebut satu per satu dalam
karya tulis ini. Tetapi untuk membuktikan kebenaran di atas, berikut ini
diberikan beberapa contoh.
a.
Menempatkan
seorang manajer tingkat rendah di sudut ruangan di mana banyak karyawan
bertugas mempunyai fungsi bukan hanya sekedar memungkinkannya mengawasi
kegiatan para bawahannya, akan tetapi juga menunjukkan posisi dan statusnya di
kalangan para karyawan tersebut. Artinya menempati sudut tertentu dalam suatu
ruangan kerja merupakan suatu simbol status seseorang meskipun sudah barang
tentu hal itu tidak perlu ditonjolkan.
b.
Makin
tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi, ia akan memperoleh lebih banyak fasilitas
dibandingkan dengan orang-orang yang jabatan statusnya lebih rendah seperti:
ruangan kerja sendiri, berbagai sarana prasarana kerja yang diperuntukkan
khusus baginya seperti pesawat telepon sendiri atau bahkan mungkin nomor
telepon sendiri, penugasan seorang sekertaris pribadi, kendaraan dinas dengan
pengemudi, karpet yang tebal, ruang kerja yang semakin luas dengan WC dan kamar
mandi sendiri, dana untuk membiayai perjalanan dinas yang lebih besar
dibandingkan dengan orang-orang lain, pengobatan cuma-cuma, rumah dinas dan
lain sebagainya.
Biasanya, posisi dan status seseorang dalam organisasi dimana ia
bekerja juga tercermin pada status sosialnya. Artinya, statusnya tinggi dalam
organisasi – misalnya di perusahaan – sering berakibat status simbol yang
digunakannya sebagai anggota masyarakat. Misalnya, ukuran rumah tinggal dan
lokasinya, luas pekarangannya, kendaraan pribadi yang dimilikinya, alat-alat
hiburang yang tersedia di rumahnya seperti alat tontonan – televisi yang
mungkin lengkap dengan parabolanya, radio, alat-alat musik, video –
keanggotaannya di berbagai klub seperti klub olah raga, klub eksekutif san
jenis organisasi bergengsi lainnya, terutama yang oleh masyarakat sering
dipandang sebagai organisasi yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
posisi dan memiliki status tertentu saja.
Tetapi tidak boleh dilupakan kebutuhan “esteem” merupakan kebutuhan
nyata setiap orang, terlepas dari kedudukannya dalam organisasi dan status
sosial di masyarakat. Artinya kebutuhan “esteem” bukan hanya merupakan
kebutuhan mereka yang menduduki jabatan manajerial, akan tetapi setiap orang
membutuhkannya. Yang menjadi tantangan bagi manajemen dalam hal menerapkan
teori motivasi ialah menemukan cara yang paling tepat untuk memuaskan berbagai
kebutuhan tersebut dengan berpedoman pada paling sedikit 4 prinsip, yaitu:
a.
Cara
yang digunakan memuaskan kebutuhan “esteem” tersebut tidak boleh menimbulkan
gejolak karena adanya kesenjangan antara kelompok-kelompok tertentu dalam
organisasi, misalnya antara kelompok manajerial dan non-manajerial.
b.
Pemuasan
kebutuhan “esteem” tersebut tetap memperhitungkan pentingnya solidaritas
sosial, baik secara terbatas dalam lingkungan organisasi maupun di lingkungan
masyarakat luas.
c.
Pemuasan
kebutuhan itu disesuaikan dengan kemampuan organisasi sambil memperhitungkan
kondisi masyarakat sekeliling.
d.
Cara
dan bentuk pemuasannya dikaitkan dengan batas-batas kewajaran sesuai dengan
norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Kalau faktor sosial ini tidak
diperhitungkan suatu organisasi bahkan mungkin terisolasi dari lingkungannya
yang apabila terjadi akan merugikan organisasi yang bersangkutan sendiri.
Aktialisasi Diri. Dewasa
ini semakin disadari oleh berbagai kalangan yang semakin luas bahwa dalam diri
setiap orang terpendam potensi kemampuan yang belum seluruhnya dikembangkan.
Adalah hal yang normal apabila dalam meniti karier, seseorang ingin agar
potensinya itu dikembangkan secara sistematik sehingga menjadi kemampuan yang
efektif. Dengan pengembangan demikian, seseorang dapat memberikan sumbangan
yang lebih besar bagi kepentingan organisasi dan dengan demikian meeraih
kemajuan profesional yang pada gilirannya memungkinkan yang bersangkutan
memuaskan berbagai jenis kebutuhannya.
Bertitik tolak dari teori maslow ini jelas terlihat bahwa para
manajer dalam suatu organisasi – terutama para manajer puncak – harus selalu
berusaha untukmemuaskan berbagai jenis kebutuhan para bawahannya. Salah satu
cara yang dikenal untuk memuaskan kebutuhan para bawahan itu adalah dengan
menggunakan teknik motivasi yang tepat. Yang dimaksud dengan motivasi yang
tepat adalah yang disesuaikan denga persepsi yang bersangkutan tentang
peringkat kebutuhannya dan intensitas kebutuhan itu. Artinya, sesungguhnya
tidak ada teknik motivasi yang begitu berlaku umum sehingga dapat diterapkan
dengan cara yang persis sama untuk semua orang dalam organisasi. Teknik
motivasi yang efektif adalah teknik yang ditunjukkan kepada dan disesuaikan
dengan kebutuhan individual. Sasarannya ialah bahwa dengan demikian manajer
yang bersangkutan akan lebih mampu meyakinkan para bawahannya bahwa dengan
tercapainya suatu organisasi, tujuan-tujuan pribadi para bawahan itu akan ikut
tercapai pula dan berbagai jenis kebutuhannya akan tercapai sesuai dengan
persepsi bawahan yang bersangkutan. Artinya, dengan demikian dalam diri
para bawahan itu terdapat keyakinan bahwa terdapat sinkronisasi antara tujuan
pribadinya dengan tujuan organisasi sebagai keseluruhan.
Ketidakmampuasn atau kegagalan manajer memberikan keyakinan
demikian dapat berakibat pada tiga hal yang bersifat negatif, yaitu:
1.
Para
anggota organisasi akan menunjukkan perilaku yang tercermin pada tindak tanduk
yang negatif, misalnya sering mangkir, kegairahan kerja dan produktifitas kerja
yang rendah, adanya tuntutan yang sukar diterima oleh akal sehat dan tindakan
negatif lainnya. Artinya, perilaku mereka adalah perilaku yang merugikan
organisasi sebagai keseluruhan.
2.
Tindakan
para anggota organisasi ditunjukan kepada pemuasan kebutuhan dan kepentingan
pribadi. Artinya, mereka melakukan tindakan yang merugikan organisasi tetapi
secara pribadi mungkin menguntungkan. Terjadinya penyalahgunaan kedudukan,
jabatan dan wewenang dan berbagai tindakan lainnya yang bersifat negatif,
merupakan contoh-contoh kongkret.
3.
Para
anggota organisasi meninggalkan organisasi, baik secara berangsur-angsur atau
mendadak, dan pindah berkarya ke organisasi yang lain. Berarti bahwa manajemen
harus selalu mengamati secara cermat adalah dalam organisasi yang dipimpinnya
terjadi “labour turn over” yang tinggi atau tidak.
Karena prntingnya masalah “labour turn over” mendapat perhatian
khusus dari manajer, pembahasan yang agak mendalam mengenai hal ini dipandang
penting. Perlu ditekankan terlebih dahulu bahwa terjadinya “labour turn over”
memang tidak dapat dicegah. Bahkan hal tersebut merupakan hal yang perlu
terjadi asal saja faktor-faktor penyebabnya karena “proses alamiah” seperti
karena pensiunan pegawai yang sudah usia pensiun, karena adanya pegwai yang
karena berbagai alasan tidak dapat lagi melanjutkan tugasnya dan sebagainya.
Yang menjadi masalah ialah kalau “labour turn over” itu terjadi pada tingkat
yang tidak wajar. Untuk itu perlu dicari faktor-faktor penyebabnya.
Perlu disadari bahwa terjadinya “labour turn over” yang tinggi
selalu menimbulkan paling sedikit dua kerugian bagi organisasi, yaitu:
1.
Kemungkinan
terjadinya kekosongan tenaga – baik pada tingkat pelaksana, profesional maupun
manajerial – yang apabila berlangsung sering kali, apalagi untuk kurun waktu
yang panjang, akan berakibat pada disrupsi penyelenggaraan kegiatan
organisasional. Disrupsi merupakan hal yang harus dicegah finansial dan
reputasi bagi organisasi yang bersangkutan.
2.
Biaya
tambahan yang harus dipukul untuk merekrut tenaga baru. Perlu diingat bahwa
meskipun tenaga baru yang berhasil direkrut sudah berpengalaman dan dipandang
mampu melaksanakan tugas yang akan dipercayakan kepadanya, tetap melakukan
akulturasi dan penyesuaian-penyesuaian tertentu sesuai dengan tradisi dan
kultur organisasi yang baru dimasukinya. Masalahnya lebih rumit lagi apabila
organisasi tidak berhasil merekrut tenaga-tenaga yang sudah berpengalaman.
Berarti tenaga-tenaga yang baru direkrut itu harus dididik dan dilatih yang
sudah barang tentu memerlukan bukan hanya waktu tetapi juga biaya.
Jelaslah bahwa terjadinga “labour turn over” yang jauh lebih besar
dari terjadinya lowongan karena hal-hal yang alamiah harus segera mendapat
perhatian para manajer agar faktor-faktor penyebabnya dapat diidentifikasikan
secara tepat dan cara mengatasinyapun segera dicari dan dilaksanakan.
Demikianlah pembahasan pemuasan kebutuhan manusia berdasarkan teori
hirarkhi yang dikembangkan dan disumbangkan oleh Abraham H. Maslow.
Dengan semakin berkembangnya teori tentang pemuasan kebutuhan
manusia, dewasa ini teori kebutuhan berdasarkan hirarkhi ini mengalami
peninjauan kembali. Dalam hubungan ini tiga hal yang bersifat fundamental perlu
diketengahkan.
Pertama: tidak
ada yang salah dalam klasifikasi kebutuhan seperti yang dikemukakan oleh Maslow
karena klasifikasi tersebut memang logis dan kenyataan hidup sehari-hari.
Secara ilmiah klasifikasi demikian dapat dipertanggung jawabkan karena memang
banyak cara yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi kebutuhan manusia
mulai dari yang paling sederhana hingga yang sangat rumit. Pembuatan
klasifikasi yang beraneka ragam itu justru memperkaya pemahaman tentang
kebutuhan manusia yang kompleks.
Kedua: yang sering
menimbulkan pertanyaan apakah benar bahwa kebutuhan manusia itu bersifat
hirarkhikal. Artinya, hirarkhi biasanya diartikan sebagai tingkat-tingkat yang
dapat dianalogikan dengan anak-anak tangga. Secara logika, anak tangga kedua
tidak mungkin dinaiki tanpa menaiki anak tangga pertama terlebih dahulu.
Demikian seterusnya hingga yang menaiki anak tangga itu menaiki seluruh anak
tangga yang ada. Padahal dalam kenyataan berbagai jenis kebutuhan manusia itu
diusahakan pemuasannya secara simultan, meskipun dengan intensitas yang
berbeda-beda. Perbedaan intensitas tersebut biasanya diwarnai oleh persepsi
seseorang tentang kebutuhannya yang paling mendesak untuk dipuaskan pada satu saat
tertentu. Dengan persepsi tertentu, kemampuan yang ada terutama diarahkan pada
pemuasan kebutuhan yang dirasakan paling mendesak, tetapi tidak dengan sama
sekali mengabaikan kebutuhan yang lain.
Karena itu, pendapat yang dewasa ini dominan di kalangan para
ilmuan yang mendalami teori motivasi mengatakan bahwa berbagai kebutuhan
manusia itu merupakan rangkaian, bukan hirarkhi. Artinya, dengan sekali lagi
menggunakan klasifikasi Maslow, sambil memuaskan kebutuhan fsiologis, seseorang
butuh keamanan, ingin dikasihi oleh orang lain, mau dihormati dan akan sangat
gembira apabila potensi yang masih terpendam dalam dirinya dikembangkannya.
Orang yang sudah menikmati keamanan fisik yang paling mantap sekalipun tetap
perlu makan, pakaian dan tempst tinggal, tetap perlu diakui keberadaannya dan
dalam rangka pemuasan kebutuhan sosial, tetap ingin dihormati dan tetap ingin
berkembang. Betapapun besarnya kasih sayang yang diterima oleh seseorang,
misalnya dari orang tuanya, dari anggota keluarga, dari teman sekerja dan dari
teman-teman yang lainnya. Ia tidak bebas dari tuntutan pemuasan kebutuhan
fisiologis, keamanan, “esteem” dan aktualisasi diri. Dengan mendapat pengakuan
status yang tinggi sekalipun, seseorang tetap harus memuaskan berbagai
kebutuhan yang lain. Demikian pula halnya dengan seseorang yang berusaha
mengembangkan dirinya, pada waktu bersamaan tetao harus memmemuaskan berbagai
kebutuhan lainnya.
Ketiga: berkembang
pesatnya ilmu pengetahuan berakibat antara lain pada semakin kompleksnya
kebutuhan manusia. Karena itu dirasakan perlu usaha ilmiah yang lebih intensif
dengan penggunaan instrumen analisis yang semakin mutakhir dan canggih untuk
membuahkan kebenaran ilmiah yang apabila diterapkan akan lebih memungkinkan
para praktisi menggunakan teori motivasi secara lebih efektif.
Menurut Maslow (1943), kebutuhan-kebutuhan
manusia tersebut muncul dalam hirarki yang berbeda. Teori Maslow secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai
pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan
individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan
diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun
tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing
yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk
sasaran-sasaran organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan
yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai
kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi
kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia
itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang
unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan
tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik
pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia
dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan,
bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan tersebut terutama diarahkan
pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah
hierarki dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak
tangga.
Logikanya
ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada
pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan
kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat
pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan
diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat
dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin
mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi
juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan
berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil
memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati
rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia
digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini,
perlu ditekankan bahwa :
1. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat
mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
2. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan
kualitatif dalam pemuasannya.
3. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai
“titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi
dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Meskipun demikian, hirarki kebutuhan ini
bersifat mekanikal dan kronologikal. Artinya kebutuhan akan rasa aman tidak
muncul tiba-tiba setelah kebutuhan fisiologis sepenuhnya terpuaskan. Setelah
suatu jenis kebutuhan cukup terpenuhi, mungkin akan muncul tingkat kebutuhan
berikutnya.
Kendati
pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis,
namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori
motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat
aplikatif.
Maslow
menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang
sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka
lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan
diri sebagai berikut:
1.
Memiliki persepsi akurat tentang realitas.
2.
Menikmati pengalaman baru.
3.
Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak.
4.
Memiliki standar moral yang jelas.
5.
Memiliki selera humor.
6.
Merasa bersaudara dengan semua manusia.
7.
Memiliki hubungan pertemanan yang erat.
8.
demokratis dalam menerima orang lain.
9.
Membutuhkan privasi.
10. Bebas dari budaya dan lingkungan.
11. Kreatif.
12. Spontan.
13. Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada
diri sendiri.
14. Mengakui sifat dasar manusia.
15. Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang
lain.
Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu
dengan menampilakan semua ciri tersebut. Dan tidak hanya orang yang sudah
mengaktualisasikan diri yang menampilakan ciri-ciri tersebut. Namun,
orang-orang yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya
lebih sering menampilkan ciri-ciri tersebut dibandingkan kebanyakan dari kita.
Sebagian besar dari lima belas ciri tersebut sudah jelas dengan sendirinya,
tetapi kita mungkin bertanya-tanya tentang pengalaman puncak (experience peak).
Maslow mendefinisikan pengalaman puncak sebagai saat-saat tatkala dunia tampak
utuh dan orang itu merasa selaras dengannya. Pengalaman puncak selalu melekat
dalam diri kita dan mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih
baik lagi.
Bagi
sebagian orang, pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama, tetapi bisa juga
tercetus melalui seni, musik, dan momen-momen yang memerlukan pengambilan
resiko. Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan.
Orang-orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi
potensi dirinya sendiri. Dengan demikian, seseorang bisa saja menjadi tolol,
boros, sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih tetap bisa
mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi diri hanya
kurang dari satu persen, sebab tidak banyak dari kita yang bisa memenuhi semua
kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki.
Motivasi
timbul karena dua faktor, yaitu dorongan yang berasal dari dalam manusia
(faktor individual atau internal) dan dorongan yang berasal dari luar individu
(faktor eksternal). Faktor individual yang biasanya mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu adalah :
1.
Minat
Seseorang
akan merasa terdorong untuk melakukan suatu kegiatan kalau kegiatan tersebut
merupakan kegiatan yang sesuai dengan minatnya. Seseorang karyawan yang mempunyai
minat yang tinggi ditandai dengan:
a) Perasaan
senang bekerja
b) Kesesuaian
bekerja sesuai dengan keinginan
c) Merasa
sesuai dengan kebijakan pimpinan
2.
Sikap Positif
Seseorang
yang mempunyai sikap positif terhadap suatu kegiatan dengan rela ikut dalam kegiatan
tersebut, dan akan berusaha sebisa mungkin menyelesaikan kegiatan yang
bersangkutan dengan sebaik-baiknya. Seorang karyawan mempunyai sikap positif
terhadap pekerjaannya ditandai dengan:
a) Merasa
senang apabila target yang diinginkan perusahaan terpenuhi
b) Mempunyai
loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan
c) Mempunyai
disiplin kerja yang tinggi
3. Kebutuhan
Setiap
orang mempunyai kebutuhan tertentu dan akan berusaha melakukan kegiatan apapun
asal kegiatan tersebut bisa memenuhi kebutuhannya. Rangsangan berupa gaji atau
upah, bonus, intensif banyak menarik orang karena memberikan pengaruh terhadap
kepuasan seseorang diluar pekerjaan. Kepuasan-kepuasan yang ditimbulkan oleh
penerima gaji itu antara lain.
a) Gaji
memungkinkan seseorang memenuhi kebutuhan fisik serta keluarganya.
b) Gaji
jika cukup besarnya mungkin dapat pula dipakai untuk membeli
kebutuhan
lain yang bersifat sekunder.
c) Gaji
sering pula dipandang sebagai simbol kekayaan.
d) Gaji
juga menempatkan seseorang pada kedudukan yang tinggi dalam status dan gengsi
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar