Rabu, 24 Desember 2014

Tugas kwu 2


BAB 2
TEORI MOTIVASI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW

2.1 Pengertian Teori Motivasi Hirarki Kebutuhan Maslow
Perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa minat yang semakin intensif para ilmuan terhadap masalah-masalah motivasi dalam kaitannya dengan pemuasan kebutuhan manusia yang semakin lama semakin kompleks itu timbul dan berkembang atau meluas bersamaan dengan timbulnya “Gerakan Human Relation” dalam administrasi.
Salah seorang pelopor yang mendalami teori motivasi adalah H.Maslow yang berkarya sebagai ilmuan dan melakukan usahanya pada pertengahan dasawarsa empatpuluhan.Telah umum diketahui bahwa hasil-hasil pemikirannya kemudian dituangkannya dalam buku berjudul “Motivation and Personality”.Sumbangan Maslo mengenai teori motivasi sampai dewasa ini tetap diakui,bukan hanya dikalangan teoritis,akan tetapi juga dikalangan praktisi.
            Konsep hirarki kebutuhan dasar ini bermula ketika Maslow melakukan observasi terhadap perilaku monyet.Berdasarkan pengamatannya,didapatkan kesimpulan bahwa beberapa kebutuhan lebih diutamakan dibandingkan dengan kebutuhan yang lain. Contohnya jika individu merasa haus, maka individu akan cenderung untuk mencoba memuaskan dahaga Individu dapat hidup tanpa makanan selama berminggu-minggu.Tetapi tanpa air, individu hanya dapat hidup selama beberapa hari saja karena kebutuhan akan air lebih kuat daripada kebutuhan akan makan.
25
 
Kebutuhan-kebutuhan ini sering disebut Maslow sebagai kebutuhan-kebutuhan dasar yang digambarkan sebagai sebuah hierarki atau tangga yang menggambarkan tingkat kebutuhan.Terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu : kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial dan , kebutuhan “esteem”, kebutuhan akan aktualisasi diri.Maslow memberi hipotesis bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling bawah, individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya.Jika pada tingkat tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali pada tingkat kebutuhan yang sebelumnya.Menurut Maslow, pemuasan berbagai kebutuhan tersebut didorong oleh dua kekuatan yakni motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motivasi perkembangan (growth motivation).Motivasi kekurangan bertujuan untuk mengatasi masalah ketegangan mansuia karena berbagai kekurangan yang ada.Sedangkan motivasi pertumbuhan didasarkan atas kapasitas setiap manusia untuk tumbuh dan berkembang.Kapasitas tersebut merupakaan pembawaan dari setiap manusia.


Keseluruhan teori motivasi yang dikembangkan oleh Maslow beritikan pendapat yang mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu dapat diklasifikasikan pada lima hirarki kebutuhan,yaitu :
1.      Kebutuhan fisiologis
2.      Kebutuhan akan keamanan
3.      Kebutuhan sosisal
4.      Kebutuhan “esteem”
5.      Kebutuhan untuk aktualisasi diri
 
Kebutuhan fisiologis.perwujudan paling nyata dari kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan-kebutuhan pokok manusia seperti sandang,pangan dan perumahan.Kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan yang paling mendasar bukan saja karena setiap orang membutuhkannya terus enerus sejak lahir hingga ajalnya,akan tetapi juga karena tanpa pemuasan bebagai  kebutuhan tersebut seorang tidak dapat dikatakan hidup secara normal.Berbagai kebuttuhan fisiologis itu berkaitan dengan status manusia sebagai insan ekonomi.Kebutuhhan itu bersifat universal dan tidak mengenal batas  geografis,asal-usul,tingkat pendidikan,tingkat sosial,pekerjaan atau profesi,umur,jenis kelamin,dan factor-faktor lainnya yang menunjukan seseorang.Hanya saja memang harus diakui adanya perbedaan dalam kemampuan untuk memuaskan berbagai kebutuhan tersebut.Gejala umum yang jelas terlihat ialah bahwa meningkatkannya kemampuan seseorang untuk memuaskan berbagai kebutuhan tersebut cenderung mengakibatkan terjadinya pergeseran pendekatan yang sifatnya kuantitatif menjadi pendekatan yang kualitatif.
Misalnya dalam hal pangan. Seseorang yang kemampuan ekonominya masih rendah, kebutuhannya akan pangan biasanya masih sangat sederhana dan pemuasannyapun biasanyadilakukan dengan kriteria “asal kenyang”. Berarti apa yang oleh ahli gizi disebut sebagai makanan yang seimbang biasanya belum terpikir olehnya. Istilah-istilah seperti “empat sehat lima sempurna”, protein, kalori, vitamin, mineral, sumber nabati, sumber hewani dan lain sebagainya baginya hanya merupakan istilah-istilah yang hanya ada arti bagi orang lain – seperti para ahli gizi dan orang-orang berada – tetapi tidak mempunyai makna dalam kehidupan. Jenis makanannyapun berkisar pada “yang itu-itu” saja, sehingga apa yang disebut dengan diversifikasi menu mungkin dirasakan tidak perlu dipahaminya. Pendekatan demikian tidak berarti bahwa orang-orang yang kemampuan ekonominya rendah itu tidak ingin memuaskan kebutuhan pangannya dengan pendekatan lain. Hanya saja kemampuan untuk itu tidak ada, terutama sebagai akibat dari penghasilan yang tidak memungkinkannya berbuat demikian. Akan tetapi bila akan kemampuan memuaskan kebutuhan akan pangan meningkat, biasanya pendekatan yang tadinya kuantitatif diusahakan berubah menjadi pendekatan kualitatif. Lain halnya dengan orang-orang yang tinggi dengan kemampuan ekonominya. Bagi mereka sejak semula pendekatannya bersifat kualitatif, bahkan kadang-kadang menjurus kepada pemuasan yang bersifat redundan. Hal ini terbukti dari cara-cara memuaskan kebutuhan pangan itu yang digunakan oleh para anggota masyarakat di negara-negara maju. Telah umum diketahui bahwa karena tingkat kemakmuran yang relatif tinggi yang telah mereka capai, para anggota masyarakat tersebut memuaskan kebutuhan pangannya dengan cara-cara yang “berlebihan” yang sering berakibat pada berbagai hal yang ternyata negatif bagi kesehatan seperti obesitas, tingkat kolesterol yang tinggi dalam darah, serangan jantung dan lain sebagainya. Telah terbukti pula bahwa di negara-negara yang sedang berkembangpun hal-hal negatif yang sama sering-sering terlihat pula pada mereka yang termasuk sebagai golongan mampu. Yang jelas ialah bahwa terlepas dari tingkat kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu masyarakat bangsa, pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat mendasar.
Demikian pula halnya sedang. Sebagaimana halnya dengan pangan, sedang merupakan kebutuhan manusia yang sifatnya universal. Artinya, kebutuhan akan sandang segera timbul begitu seorang lahir dan tetap merupakan kebutuhan selama seseorang hidup, tidak peduli dimana seorang bermukim. Tidak dapat disangkal bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pendekatan ekonomi, iklim, pekerjaan atau profesi, status sosial, bahkan tradisi atau kebudayaan masyarakat dimana seseorang menjadi anggota. Apabila kemampuan ekonomi seseorang masih rendah, kemampuan sandangnya akan dipuaskan sekedarnya saja, dalam arti jumlah dan mutu. Akan tetapi dalam hal demikianpun, faktor-faktor lain yang telah diidentifikasikan di atas tetap harus diperhitungkan. Artinga, pemuasan kebutuhan sandang “sekedarnya” mempunyai arti yang lain seseorang yang tinggal di daerah tropis dengan seseorang yang tinggal di daerah sub tropis atau di daerah empat musim.  Akan tetapi bila kemampuan ekonomi seseorang meningkat, pemuasan kebutuhan akan sandangpun biasanya ditingkatkan, baik dalam arti jumlahnya maupun mutunya. Tentu situasinya lain bagi mereka dengan tingkat kemampuan ekonomi yang tinggi. Pendekatannya serta merta bersifat kualitatif, bahkan sering pendekatan kualitatif itu digabung dengan pendekatan estetika, misalnya busana dengan berbagai asesorisnya. Jenis pekerjaan seseorangpun turut menentukan bentuk kebutuhannya akan sandang. Pakaian yang dibutuhkan seorang petani akan berbeda dari pakaian yang dibutuhkan oleh pekerja di pabrik. Seorang perawat wanita memerlukan jenis pakaian yang lain dibandingkan dengan pakaian seorang wanita yang menangani hubungan masyarakat. Seorang buruh tambang yang bekerja di bawah tanah memerlukan pakaian yang lain dari seorang pramuniaga di satu toko swalayan. Demikian seterusnya. Sedikit banyak status sosial seseorang berperan pula dalam menentukan tingkat kebutuhannya akan sandang. Biasanya semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar pula kebutuhannya akan aneka ragam pakaian. Demikian pula halnya dengan adat istiadat. Keterlibatan seseorang dalam upacara adat, tergantung pada status dan peranannya dalam upacara itu menentukan jenis busana yang diharapkan digunakannya. Artinya di setiap masyarakat terdapat ketentuan, tertulis atau tidak, tentang cara-cara berpakaian apabila mebfhadiri upacara adat tertentu. Ketentuan itu terdapat mulai dari masyarakat pedesaan hingga upacara kenegaraan dan resepsi diplomatik. Mereka yang mendapat undangan untuk berbagai upacara tersebut biasanya sudah mengetahui pakaian apa yang tepat digunakan untuk menghadiri upacara demikian. Berarti bahwa semakin banyak jenis upacara formal yang harus dihadiri oleh seseorang semakin beraneka ragam pula jenis pakaian yang perlu dimilikinya.
Hal senada  dapat dikatakan tentang pemuasan kebutuhan akan tempat tinggal. Seseorang yang tingkat perekonomiannya rendah, kebutuhan akan perumahan dapat dikatakan masih sangat sederhana, dalam arti sekedar terlindung dari panas matahari, hujan dan kelembaban udara malam hari. Sekedarnya di sini biasanya juga berkaitan dengan ukurab tempat tinggal, lokasinya dan bahan yang digunakan. Ada kalanya dalam pemuasan kebutuhan itu bagi mereka yang tingkat kemampuannya rendah, berbagai kriteria seperti lingkungan yang sehat, tersedianya air bersih, dari lokasi dan lain sebagainya terpaksa belum bisa diperhitungkan. Bukan karena tidak ingin menikmatinya, akan tetapi karena kemampuanlah yang membatasi. Akan tetapi apabila kemampuan seseorang meningkat, ia akan terdorong untuk memikirkan pemuasan kebutuhan perumahan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Misalnya dengan memperluas lantai rumahnya, menambah jumlah kamar dalam rumah, mengganti perabot dan lain sebagainya. Kemampuan yang tinggi lagi tidak mustahil mendorongnya lebih tinggi lagi tidak mustahil mendorongnya pindah ke lokasi baru karena berbagai pertimbangan seperti kawasan yang tidak kumuh, tidak bergengsi, tersedianya lebih banyak fasilitas hidup seperti air bersih, sarana angkutan, sarana olah raga, listrik, sarana perhubungan dan lain sebagainya. Bahkan apabila kemampuan seseorang sangat tinggi, pemuasan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif itu meningkat pula. Misalnya secara kuantitatif, bahkan hanya tempat tinggal yang sehari-hari didalaminya yang diperluas dan menggunakan bahan bangunan yang bermutu tinggi, akan tetapi juga memilikinya lebih dari satu.
Banyak orang mampu yang memiliki lebih dari satu rumah. Di samping rumah yang ditinggalinya sehari-hari, mungkin ia memiliki “rumah peristirahatan” di daerah pegunungan atau daerah pantai yang digunakannya pada hari-hari libur atau pada akhir pekan.
Perlu ditekankan bahwa sikap demikian adalah sikap normal dan wajar. Manajer dalam organisasi perlu menyadari hal itu. Artinya merupakan hal yang wajar apabila para pekerja berkeinginan untuk meningkatkan kemampuan ekonominya yang pada gilirannya memungkinkannya memuaskan berbagai kebutuhan fisiologisnya dengan menggabung pendekatan kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Akan tetapi penting pula untuk menyadari bahwa manusia “tidak hanya hidup dari nasi” saja. Manusia mempunyai berbagai kebutuhan lain di samping pisiologis tersebut.
Kebutuhan Keamanan. Kebutuhan keamanan harus dilihat dalam arti luas, tidak hanya dalam arti keamanan fisik – meskipun hal ini aspek yang sangat penting – akan tetapi juga keamanan yang bersifat psikologis, termasuk perlakuan adil dalam pekerjaan seseorang. Karena pemuasan kebutuhan ini terutama dikaitkan dengan tugas pekerjaan seseorang, kebutuhan keamanan itu sangat penting untuk mendapat perhatian. Artinya, keamanan dalam arti fisik mencakup keamanan di tempat pekerjaan dan keamanan dari dan ke tempat pekerjaan. Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa jaminan keselamatan seseorang di tempat tinggal dan dalam perjalanannya menuju tempat kerjanya bukan urusan manajemen suatu organisasi. Pendapat itu ada benarnyajika keamanan sebagai kebutuhan para pekerja diartikan secara sempit. Akan tetapi pendapat tersebut tidak seluruhnya benar. Pengamatan yang menunjukan bahwa banyak organisasi yang mengusahakan dan menyediakan sarana angkutan bagi para pegawainya. Kebijaksanaan tersebut ditempuh tidak sekedar untuk lebih menjamin bahwa para pegawai itu tiba di tempat tugas masing-masing pada waktunya dan agar para pegawai berikan keamanan dan kenyamanan bagi para pegawai tersebut dalam perjalanan menuju ke dan dari tempat kerja masing-masing. Demikian pula halnya selama seseorang berada di tempat pekerjaannya. Merupakan hal yang biasa apabila organisasi mengambil berbagai langkah pengalaman seperti dipekerjakannya para petugas keamanan (satpam), keharusan para tamu untuk melaporkan kedatangannya dan lain sebagainya yang kesemuanya menunjukkan bahwa manajemen pada umumnya memandang penting untuk memberikan rasa aman bagi para karyawan melaksanakan tugas masing-masing. Pengecekan terhadap alat-alat yang digunakan adalah contoh lain dari tindakan pengamanan itu. Keharusan menggunakan topi pengaman oleh mereka yang sedang mana terdapat bahan-bahan kimia atau bahan lain yang mudah terbakar adalah contoh lain. Diasuransikannya para karyawan yang melaksanakan tugas-tugas tertentu, terutama mereka yang tingkat resiko okupasinya tinggi, seperti buruh tambang yang bekerja di bawah tanah, awak pesawat dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk pengamanan yang dimaksud.
Akan tetapi, seperti telah ditekankan di muka, kebutuhan akan keamanan tidak bisa dilihat dari segi keamanan fisik para pekerja saja. Segi-segi keamanan yang bersifat psikologis juga mutlak penting mendapat perhatian. Perlakuan yang manusiawi dan adil adalah salah satu contohnya. Misalnya keseimbangan kejiwaan seseorang akan terganggu apabila dia ditegur oleh atasannya di hadapan orang banyak sehingga mengakibatkannya “kehilangan muka”. Perlakuan demikian mengakibatkan harga diri seseorang turun. Seorang pekerja akan menerima teguran atasannya dengan ikhlas apabila dilakukan dengan cara yang tepat – misalnya dalam situasi “empat mata” – apalagi bila diterapkan secara adil dalam arti semua orang yang berbuat kesalahan yang sama mendapat teguran yang serupa pula. Keamanan juga menyangkut apa yang biasa disebut sebagai “security of tenure”. Artinya terdapat jaminan bahwa seseorang tidak akan mengalami pemutusan hubungan kerja selama yang bersangkutan menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan dan tidak melakukan berbagai tindakan yang sangat merugilan organisasi. Memang bisa saja timbul keadaan yang mengakibatkan manajemen terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja. Satu perusahaan yang gulungtikar terpaksa melakukannya. Dalam keadaan terpaksa demikian para pekerjapun biasanya akan dapat memahami tindakan seperti itu. Yang tidak diinginkan adalah tindakan yang semena-mena dari pimpinan tanpa kriteria yang jelas dan alasan yang sangat kuat. Keamanan fisik akan banyak artinya apabila para karyawan merasa bahwa kebutuhan keamanan psikologis tidak terpenuhi. Hal ini mempunyai dampak negatif yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan kurang terpenuhinya kebutuhan akan keamanan fisik yang akan tercermin pada produktivitas kerja yang merosot, tingkat kemangkiran yang tinggi, keinginan pindah yang besar, kepuasan kerja yang rendah, tingkat “stress” yang tinggi, disiplin kerja yang tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan organisasi, konflik yang berlarut-larut dan tidak diselesaikan dari berbagai hal negatif lainnya.
Pemuasan Kebutuhan Sosial. Telah umum diterima sebagai kebenaran universal bahwa manusia adalah mahluk sosial. Dalam kehidupan organisasional manusia sebagai insan sosial mempunyai berbagai kebutuhan yang berkisar pada pengakuan akan keberadaan seseorang dan penghargaan atas harkat dan martabatnya. Biasanya kebutuhan sosial tersebut tercermin dalam empat bentuk “perasaan”, yaitu :
a.       Perasaan diterima oleh orang lain dengan siapa ia bergaul dan berinteraksi dalam organisasi. Dengan perkataan lain ia memiliki “sense of belonging” yang tinggi. Tidak ada seorang manusia normal yang senang merasa terasing dari kelompok di mana ia menjadi anggota. Sebaliknya kegairahan kerjanya akan meningkat apabila ia diterima sebagai anggota organisasi yang terhormat. Dengan perasaan demikian ia akan berprilaku positif yang biasanya tercermin dalam kemauan memberikan sumbangsih yang semakin besar kepada usaha organisasi untuk mencapai tujuannya.
b.      Harus diterima sebagai kenyataan bahwa setiap orang mempunyai jati diri yang khas dengan segala kelebihan dan keurangannya. Dngan jati dirinya yang khas itu setiap orang merasa dirinya penting. Tidak ada manusia yang senang apabila diremehkan. Artinya setiap orang memiliki “sense of importance”. Jika manajemen mengingkari kenyataan ini bukan mustahil ia akan menghadapi berbagai kesulitan dalam menggerakkan para bawahannya. Memang harus dijaga agar ego seseorang itu tidak sedemikian menonjolnya sehingga tindak tanduk menjurus kepada pengutamaan kepentingan diri sendiri dengan mengabaikan, apalagi mengorbankan kepentingan orang lain, termasu kepentingan organisasi. Misalnya, merupakan hal yang sangat baik apabila seorang manajer memberikan penekanan yang tepat bahwa tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang, betapapun rendahnya kedudukan orang yang barsangkutan dalam hirarkhi jabatan dalam organisasi, mempunyai arti penting dalam keseluruhan usaha pencapaian tujuan. Karena jika sampai seseorang mempunyai persepsi bahwa ia tidak menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi pencapaian tujuan, tidak mustahil ia akan kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Keseluruhan kebutuhan yang bersifat sosial ini oleh para ahli dirumuskan dengan kebutuhan afiliasi. Karena manusia adalah mahluk sosial, kebutuhan afiliasi ini timbul secara naluriah. Karena sifatnya yang naluriah kebutuhan ini sudah timbul sejak seseorang dilahirkan yang terus bertumbuh dan berkembang dalam perjalanan hidupnya. Juga karena sifatnya naluriah keinginan memuaskannyapun berada pada intensitas yang tetap tinggi. Karena itulah terdapat kecenderungan orang untuk memasuki berbagai jenis organisasi yang diharapkannya dapat digunakan sebagai wahana pemuasannya. Dikaitkan dengan pemberian motivasi kepada pekerja, salah satu implikasi tuntutan pemuasan kebutuhan ini ialah kewajiban manajer untuk menciptakan suasana kerja sedemikian rupa sehingga interaksi positifantara para anggota organisasi terjadi secara terus menerus. Dalam bahasa sehari-hari interaksi yang dimaksud ialah agar hubungan para anggota suatu kelompok kerja dalam suatu organisasi tidak hanya terbatas pada hubungan kekaryaan, tetapi meningkat menjadi hubungan persahabatan yang sambil melaksanakan tugas masing-masing memberikan peluang pula untuk memberikan interaksi yang bersifat pribadi. Contohnya adalahsebagai barikut: di suatu perusahaan, seorang manager kepegawaian yang baru pulang dari luar negeri dengan membawa gelar akademis tertentu, dalam usahanya meningkatkan efisiensi kerja para sekertaris di perusahaan itu mengambil keputusan untuk mengurangi waktu istirahat makan siang dari satu jam menjadi setengah jam. Alasannya ialah bahwa karena perusahaan menyediakan kafetaria di mana para pegawai makan siang, dan tidak perlu keluar, para sekertaris itu tidak memerlukan waktu sampai satu jam untuk makan siang. Manajer yang bersangkutan merasa yakin bahwa para sekertaris itu akan menerima keputusan baru itu dengan gembira karena dengan demikian mereka akan dapat pulang lebih cepat setengah jam ke rumah masing-masing. Ternyata para sekretaris itu menolak keputusan tersebut. Penolakan itu begitu kuatnya sehingga manajer yang bersangkutan merubah keputusannya dan memberlakukan keputusan yang lama, yaitu para sekertaris istirahat selama satu jam untuk makan siang. Dalam pada itu manajer tersebut melakukan penelitian mengapa terdapat penolakan yang begitu kuat terhadap keputusan yang dipandang tepat itu. Hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa memang benar para sekretaris itu tidak memerlukan waktu satu jam untuk makan siang. Akan tetapi ternyata waktu istirahat itu mereka gunakan untuk “socializing” antara lain dengan para sekretaris dari nbagian-bagian lain pada kesempatan mana mereka tidak membicarakan hal-hal yang menyangkut pekerjaan, akan tetapi hal-hal lain seperti mode pakaian, tontonan atau hiburan apa yang menarik untuk dilihat, butik mana yang sedang obral dan hal-hal lain yang biasanya menarik perhatian para wanita. Dengan pemahaman demikian, manajer yang bersangkutan semakin sadar pentingnya pemenuhan kebutuhan akan afiliasi di kalangan para bawahannya itu.
c.       Kebutuhan akan perasaan maju. Dapat dinyatakan secara kategorikal bahwa pada umumnya manusia tidak senang apabila menghadapi kegagalan. Para ahli memutuskan kebutuhan ini sebagai “need for achievement”. Sebaliknya ia akan merasa senang dan bangga apabila ia meraih kemajuan, apapun bentuk kemajuann itu. Menurut teori “need for achievement”, ada orang yang tergolong “need achiever” dan adapula yang tergolong sebagai “low achiever”. Karakteristik para bawahan, sepanjang orientasinya mengenai tingkat keberhasilan, ternyata amat penting dikenali karena mempunyai implikasi yang penting dalam berkarya, termasuk penempatan seseorang. Misalnya dari berbagai penelitian yang dilakukan terbukti bahwa seorang “high achiever” mempunyai karakteristik tertentu seperti : tidak senang pekerjaan yang terlalu sukar atau terlalu mudah, melainkan menyenangi pekerjaan yang kemungkinan keberhasilannya cukup besar. Seorang “high achiever” mempunyai keinginan besar untuk segera memperoleh umpan balik apakah ia berhasil menyelesaikan tugasnya atau tidak. Berarti serang “high achiever” cocok untuk sesuatu tugas tertentu tetapi tidak untuk tugas lainnya. Jelas hal tersebut berkaitan dengan teknik motivasi yang efektif.
d.      Kebutuhan akan perasaan diikutsertakan atau “sense of participation”. Kebutuhan ini terasa dalam banyak segi kehidupan organisasional, akan tetapi mungkin paling terasa dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan tugas seseorang. Sudah barang tentu bentuk pertisipasi itu dapat beraneka ragam seperti dikonsultasikan, diminta memberikan informasi, didorong memberikan saran atau pendapat dan sebagainya. Telah umum diakui bahwa pengikutsertaan seseorang dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut nasib dan pekerjaannya berdampak psikologis yang sangat kuat. Artinya, apabila seseorang dilibatkan dalam menentukan hal-hal yang menyangkut dirinya, ia akan merasa bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan sendiri. Jika perasaan itu timbul, diharapkan bahwa yang bersangkutan akan mempunyai rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam melaksanakan keputusan yang diambil itu. Berbeda halnya jika keputusan diambil pada hirarkhi organisasi yang lebih tinggi dan setelah diambil disampaikan kepada pekerja untuk dilaksanakan. Dalam situasi demikian para pelaksana biasanya tidak terlalu terasa terikat untuk melaksanakannya dengan baik, apalagi kalau keputusan itu dipandang merugikan diri sendiri. Inilah salah satu alasan untuk mengatakan bahwa gaya manajemen yang partisipasif adalah gaya baik dan tepat digunakan, juga untuk kepentingan pemberian motivasi.
Kebutuhan “Esteem”. Salah satu ciri manusia ialah bahwa dia mempunyai harga diri. Karena itu semua orang memerlukan pengakuan atas keberadaan dan statusnya oleh orang lain. Keberadaan dan status seseorang biasanya tercermin pada berbagai lambang yang penggunaannya sering dipandang sebagai hak seseorang, di dalam dan di luar organisasi. Ternyata penggunaan lambang-lambang status tersebut dikenal baik di lingkungan masyarakat yang disebut tradisional maupun di lingkungan masyarakat yang sudah maju dan modern. Tentunya bentuk, jenis, aneka ragam dan penggunaan lambang-lambang status tertentu berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, berbeda dari satu tempat ke tempat lain, berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain dan bahkan juga berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Dikaitkan dengan organisasional, pada umumnya dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kedudukan dan status seseorang dalam suatu organisasi dan di lingkungan masyarakat semakin banyak pula simbol-simbol yang digunakannya untuk menunjukkan status yang diharapkannya diterima dan diakui oleh orang orang lain, baik secara langsung oleh mereka dengan siapa ia berinteraksi maupun secara tidak langsung oleh berbagai pihak dengan siapa seseorang tidak melakukan interaksi.
Berbagai pasilitas yang diterima oleh seseorang dalam kehidupan organisasionalnya adalah salah satu bentuk simbol status seseorang dalam organisasi. Sesuai dengan rumus yang telah dikemukakan diatas, merupakan kenyataan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam suatu organisasi, biasanya semakin banyak pula fasilitas yang diperolehnya dari organisasi. Berbagai fasilitas tersebut beraneka ragam untuk sidebut satu per satu dalam karya tulis ini. Tetapi untuk membuktikan kebenaran di atas, berikut ini diberikan beberapa contoh.
a.       Menempatkan seorang manajer tingkat rendah di sudut ruangan di mana banyak karyawan bertugas mempunyai fungsi bukan hanya sekedar memungkinkannya mengawasi kegiatan para bawahannya, akan tetapi juga menunjukkan posisi dan statusnya di kalangan para karyawan tersebut. Artinya menempati sudut tertentu dalam suatu ruangan kerja merupakan suatu simbol status seseorang meskipun sudah barang tentu hal itu tidak perlu ditonjolkan.
b.      Makin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi, ia akan memperoleh lebih banyak fasilitas dibandingkan dengan orang-orang yang jabatan statusnya lebih rendah seperti: ruangan kerja sendiri, berbagai sarana prasarana kerja yang diperuntukkan khusus baginya seperti pesawat telepon sendiri atau bahkan mungkin nomor telepon sendiri, penugasan seorang sekertaris pribadi, kendaraan dinas dengan pengemudi, karpet yang tebal, ruang kerja yang semakin luas dengan WC dan kamar mandi sendiri, dana untuk membiayai perjalanan dinas yang lebih besar dibandingkan dengan orang-orang lain, pengobatan cuma-cuma, rumah dinas dan lain sebagainya.
Biasanya, posisi dan status seseorang dalam organisasi dimana ia bekerja juga tercermin pada status sosialnya. Artinya, statusnya tinggi dalam organisasi – misalnya di perusahaan – sering berakibat status simbol yang digunakannya sebagai anggota masyarakat. Misalnya, ukuran rumah tinggal dan lokasinya, luas pekarangannya, kendaraan pribadi yang dimilikinya, alat-alat hiburang yang tersedia di rumahnya seperti alat tontonan – televisi yang mungkin lengkap dengan parabolanya, radio, alat-alat musik, video – keanggotaannya di berbagai klub seperti klub olah raga, klub eksekutif san jenis organisasi bergengsi lainnya, terutama yang oleh masyarakat sering dipandang sebagai organisasi yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki posisi dan memiliki status tertentu saja.
Tetapi tidak boleh dilupakan kebutuhan “esteem” merupakan kebutuhan nyata setiap orang, terlepas dari kedudukannya dalam organisasi dan status sosial di masyarakat. Artinya kebutuhan “esteem” bukan hanya merupakan kebutuhan mereka yang menduduki jabatan manajerial, akan tetapi setiap orang membutuhkannya. Yang menjadi tantangan bagi manajemen dalam hal menerapkan teori motivasi ialah menemukan cara yang paling tepat untuk memuaskan berbagai kebutuhan tersebut dengan berpedoman pada paling sedikit 4 prinsip, yaitu:
a.       Cara yang digunakan memuaskan kebutuhan “esteem” tersebut tidak boleh menimbulkan gejolak karena adanya kesenjangan antara kelompok-kelompok tertentu dalam organisasi, misalnya antara kelompok manajerial dan non-manajerial.
b.      Pemuasan kebutuhan “esteem” tersebut tetap memperhitungkan pentingnya solidaritas sosial, baik secara terbatas dalam lingkungan organisasi maupun di lingkungan masyarakat luas.
c.       Pemuasan kebutuhan itu disesuaikan dengan kemampuan organisasi sambil memperhitungkan kondisi masyarakat sekeliling.
d.      Cara dan bentuk pemuasannya dikaitkan dengan batas-batas kewajaran sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Kalau faktor sosial ini tidak diperhitungkan suatu organisasi bahkan mungkin terisolasi dari lingkungannya yang apabila terjadi akan merugikan organisasi yang bersangkutan sendiri.
Aktialisasi Diri. Dewasa ini semakin disadari oleh berbagai kalangan yang semakin luas bahwa dalam diri setiap orang terpendam potensi kemampuan yang belum seluruhnya dikembangkan. Adalah hal yang normal apabila dalam meniti karier, seseorang ingin agar potensinya itu dikembangkan secara sistematik sehingga menjadi kemampuan yang efektif. Dengan pengembangan demikian, seseorang dapat memberikan sumbangan yang lebih besar bagi kepentingan organisasi dan dengan demikian meeraih kemajuan profesional yang pada gilirannya memungkinkan yang bersangkutan memuaskan berbagai jenis kebutuhannya.
Bertitik tolak dari teori maslow ini jelas terlihat bahwa para manajer dalam suatu organisasi – terutama para manajer puncak – harus selalu berusaha untukmemuaskan berbagai jenis kebutuhan para bawahannya. Salah satu cara yang dikenal untuk memuaskan kebutuhan para bawahan itu adalah dengan menggunakan teknik motivasi yang tepat. Yang dimaksud dengan motivasi yang tepat adalah yang disesuaikan denga persepsi yang bersangkutan tentang peringkat kebutuhannya dan intensitas kebutuhan itu. Artinya, sesungguhnya tidak ada teknik motivasi yang begitu berlaku umum sehingga dapat diterapkan dengan cara yang persis sama untuk semua orang dalam organisasi. Teknik motivasi yang efektif adalah teknik yang ditunjukkan kepada dan disesuaikan dengan kebutuhan individual. Sasarannya ialah bahwa dengan demikian manajer yang bersangkutan akan lebih mampu meyakinkan para bawahannya bahwa dengan tercapainya suatu organisasi, tujuan-tujuan pribadi para bawahan itu akan ikut tercapai pula dan berbagai jenis kebutuhannya akan tercapai sesuai dengan persepsi bawahan yang bersangkutan. Artinya, dengan demikian dalam diri para bawahan itu terdapat keyakinan bahwa terdapat sinkronisasi antara tujuan pribadinya dengan tujuan organisasi sebagai keseluruhan.
Ketidakmampuasn atau kegagalan manajer memberikan keyakinan demikian dapat berakibat pada tiga hal yang bersifat negatif, yaitu:
1.      Para anggota organisasi akan menunjukkan perilaku yang tercermin pada tindak tanduk yang negatif, misalnya sering mangkir, kegairahan kerja dan produktifitas kerja yang rendah, adanya tuntutan yang sukar diterima oleh akal sehat dan tindakan negatif lainnya. Artinya, perilaku mereka adalah perilaku yang merugikan organisasi sebagai keseluruhan.
2.      Tindakan para anggota organisasi ditunjukan kepada pemuasan kebutuhan dan kepentingan pribadi. Artinya, mereka melakukan tindakan yang merugikan organisasi tetapi secara pribadi mungkin menguntungkan. Terjadinya penyalahgunaan kedudukan, jabatan dan wewenang dan berbagai tindakan lainnya yang bersifat negatif, merupakan contoh-contoh kongkret.
3.      Para anggota organisasi meninggalkan organisasi, baik secara berangsur-angsur atau mendadak, dan pindah berkarya ke organisasi yang lain. Berarti bahwa manajemen harus selalu mengamati secara cermat adalah dalam organisasi yang dipimpinnya terjadi “labour turn over” yang tinggi atau tidak.
Karena prntingnya masalah “labour turn over” mendapat perhatian khusus dari manajer, pembahasan yang agak mendalam mengenai hal ini dipandang penting. Perlu ditekankan terlebih dahulu bahwa terjadinya “labour turn over” memang tidak dapat dicegah. Bahkan hal tersebut merupakan hal yang perlu terjadi asal saja faktor-faktor penyebabnya karena “proses alamiah” seperti karena pensiunan pegawai yang sudah usia pensiun, karena adanya pegwai yang karena berbagai alasan tidak dapat lagi melanjutkan tugasnya dan sebagainya. Yang menjadi masalah ialah kalau “labour turn over” itu terjadi pada tingkat yang tidak wajar. Untuk itu perlu dicari faktor-faktor penyebabnya.
Perlu disadari bahwa terjadinya “labour turn over” yang tinggi selalu menimbulkan paling sedikit dua kerugian bagi organisasi, yaitu:
1.      Kemungkinan terjadinya kekosongan tenaga – baik pada tingkat pelaksana, profesional maupun manajerial – yang apabila berlangsung sering kali, apalagi untuk kurun waktu yang panjang, akan berakibat pada disrupsi penyelenggaraan kegiatan organisasional. Disrupsi merupakan hal yang harus dicegah finansial dan reputasi bagi organisasi yang bersangkutan.
2.      Biaya tambahan yang harus dipukul untuk merekrut tenaga baru. Perlu diingat bahwa meskipun tenaga baru yang berhasil direkrut sudah berpengalaman dan dipandang mampu melaksanakan tugas yang akan dipercayakan kepadanya, tetap melakukan akulturasi dan penyesuaian-penyesuaian tertentu sesuai dengan tradisi dan kultur organisasi yang baru dimasukinya. Masalahnya lebih rumit lagi apabila organisasi tidak berhasil merekrut tenaga-tenaga yang sudah berpengalaman. Berarti tenaga-tenaga yang baru direkrut itu harus dididik dan dilatih yang sudah barang tentu memerlukan bukan hanya waktu tetapi juga biaya.
Jelaslah bahwa terjadinga “labour turn over” yang jauh lebih besar dari terjadinya lowongan karena hal-hal yang alamiah harus segera mendapat perhatian para manajer agar faktor-faktor penyebabnya dapat diidentifikasikan secara tepat dan cara mengatasinyapun segera dicari dan dilaksanakan.
Demikianlah pembahasan pemuasan kebutuhan manusia berdasarkan teori hirarkhi yang dikembangkan dan disumbangkan oleh Abraham H. Maslow.
Dengan semakin berkembangnya teori tentang pemuasan kebutuhan manusia, dewasa ini teori kebutuhan berdasarkan hirarkhi ini mengalami peninjauan kembali. Dalam hubungan ini tiga hal yang bersifat fundamental perlu diketengahkan.
Pertama: tidak ada yang salah dalam klasifikasi kebutuhan seperti yang dikemukakan oleh Maslow karena klasifikasi tersebut memang logis dan kenyataan hidup sehari-hari. Secara ilmiah klasifikasi demikian dapat dipertanggung jawabkan karena memang banyak cara yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi kebutuhan manusia mulai dari yang paling sederhana hingga yang sangat rumit. Pembuatan klasifikasi yang beraneka ragam itu justru memperkaya pemahaman tentang kebutuhan manusia yang kompleks.
Kedua: yang sering menimbulkan pertanyaan apakah benar bahwa kebutuhan manusia itu bersifat hirarkhikal. Artinya, hirarkhi biasanya diartikan sebagai tingkat-tingkat yang dapat dianalogikan dengan anak-anak tangga. Secara logika, anak tangga kedua tidak mungkin dinaiki tanpa menaiki anak tangga pertama terlebih dahulu. Demikian seterusnya hingga yang menaiki anak tangga itu menaiki seluruh anak tangga yang ada. Padahal dalam kenyataan berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara simultan, meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda. Perbedaan intensitas tersebut biasanya diwarnai oleh persepsi seseorang tentang kebutuhannya yang paling mendesak untuk dipuaskan pada satu saat tertentu. Dengan persepsi tertentu, kemampuan yang ada terutama diarahkan pada pemuasan kebutuhan yang dirasakan paling mendesak, tetapi tidak dengan sama sekali mengabaikan kebutuhan yang lain.
Karena itu, pendapat yang dewasa ini dominan di kalangan para ilmuan yang mendalami teori motivasi mengatakan bahwa berbagai kebutuhan manusia itu merupakan rangkaian, bukan hirarkhi. Artinya, dengan sekali lagi menggunakan klasifikasi Maslow, sambil memuaskan kebutuhan fsiologis, seseorang butuh keamanan, ingin dikasihi oleh orang lain, mau dihormati dan akan sangat gembira apabila potensi yang masih terpendam dalam dirinya dikembangkannya. Orang yang sudah menikmati keamanan fisik yang paling mantap sekalipun tetap perlu makan, pakaian dan tempst tinggal, tetap perlu diakui keberadaannya dan dalam rangka pemuasan kebutuhan sosial, tetap ingin dihormati dan tetap ingin berkembang. Betapapun besarnya kasih sayang yang diterima oleh seseorang, misalnya dari orang tuanya, dari anggota keluarga, dari teman sekerja dan dari teman-teman yang lainnya. Ia tidak bebas dari tuntutan pemuasan kebutuhan fisiologis, keamanan, “esteem” dan aktualisasi diri. Dengan mendapat pengakuan status yang tinggi sekalipun, seseorang tetap harus memuaskan berbagai kebutuhan yang lain. Demikian pula halnya dengan seseorang yang berusaha mengembangkan dirinya, pada waktu bersamaan tetao harus memmemuaskan berbagai kebutuhan lainnya.
Ketiga: berkembang pesatnya ilmu pengetahuan berakibat antara lain pada semakin kompleksnya kebutuhan manusia. Karena itu dirasakan perlu usaha ilmiah yang lebih intensif dengan penggunaan instrumen analisis yang semakin mutakhir dan canggih untuk membuahkan kebenaran ilmiah yang apabila diterapkan akan lebih memungkinkan para praktisi menggunakan teori motivasi secara lebih efektif.
Menurut Maslow (1943), kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut muncul dalam hirarki yang berbeda.  Teori Maslow secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah hierarki dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga.
Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
1.    Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
2.    Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
3.    Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Meskipun demikian, hirarki kebutuhan ini bersifat mekanikal dan kronologikal. Artinya kebutuhan akan rasa aman tidak muncul tiba-tiba setelah kebutuhan fisiologis sepenuhnya terpuaskan. Setelah suatu jenis kebutuhan cukup terpenuhi, mungkin akan muncul tingkat kebutuhan berikutnya.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan diri sebagai berikut:
1.        Memiliki persepsi akurat tentang realitas.
2.        Menikmati pengalaman baru.
3.        Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak.
4.        Memiliki standar moral yang jelas.
5.        Memiliki selera humor.
6.        Merasa bersaudara dengan semua manusia.
7.        Memiliki hubungan pertemanan yang erat.
8.        demokratis dalam menerima orang lain.
9.        Membutuhkan privasi.
10.    Bebas dari budaya dan lingkungan.
11.    Kreatif.
12.    Spontan.
13.    Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri.
14.    Mengakui sifat dasar manusia.
15.    Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain.
Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilakan semua ciri tersebut. Dan tidak hanya orang yang sudah mengaktualisasikan diri yang menampilakan ciri-ciri tersebut. Namun, orang-orang yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan ciri-ciri tersebut dibandingkan kebanyakan dari kita. Sebagian besar dari lima belas ciri tersebut sudah jelas dengan sendirinya, tetapi kita mungkin bertanya-tanya tentang pengalaman puncak (experience peak). Maslow mendefinisikan pengalaman puncak sebagai saat-saat tatkala dunia tampak utuh dan orang itu merasa selaras dengannya. Pengalaman puncak selalu melekat dalam diri kita dan mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih baik lagi.
Bagi sebagian orang, pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama, tetapi bisa juga tercetus melalui seni, musik, dan momen-momen yang memerlukan pengambilan resiko. Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan. Orang-orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi dirinya sendiri. Dengan demikian, seseorang bisa saja menjadi tolol, boros, sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih tetap bisa mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi diri hanya kurang dari satu persen, sebab tidak banyak dari kita yang bisa memenuhi semua kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki.
Motivasi timbul karena dua faktor, yaitu dorongan yang berasal dari dalam manusia (faktor individual atau internal) dan dorongan yang berasal dari luar individu (faktor eksternal). Faktor individual yang biasanya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu adalah :
1.    Minat
Seseorang akan merasa terdorong untuk melakukan suatu kegiatan kalau kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang sesuai dengan minatnya. Seseorang karyawan yang mempunyai minat yang tinggi ditandai dengan:
a)    Perasaan senang bekerja
b)   Kesesuaian bekerja sesuai dengan keinginan
c)    Merasa sesuai dengan kebijakan pimpinan
2.    Sikap Positif
Seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap suatu kegiatan dengan rela ikut dalam kegiatan tersebut, dan akan berusaha sebisa mungkin menyelesaikan kegiatan yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya. Seorang karyawan mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya ditandai dengan:
a)    Merasa senang apabila target yang diinginkan perusahaan terpenuhi
b)   Mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan
c)    Mempunyai disiplin kerja yang tinggi
3.    Kebutuhan
Setiap orang mempunyai kebutuhan tertentu dan akan berusaha melakukan kegiatan apapun asal kegiatan tersebut bisa memenuhi kebutuhannya. Rangsangan berupa gaji atau upah, bonus, intensif banyak menarik orang karena memberikan pengaruh terhadap kepuasan seseorang diluar pekerjaan. Kepuasan-kepuasan yang ditimbulkan oleh penerima gaji itu antara lain.
a)    Gaji memungkinkan seseorang memenuhi kebutuhan fisik serta keluarganya.
b)   Gaji jika cukup besarnya mungkin dapat pula dipakai untuk membeli
kebutuhan lain yang bersifat sekunder.
c)    Gaji sering pula dipandang sebagai simbol kekayaan.
d)   Gaji juga menempatkan seseorang pada kedudukan yang tinggi dalam status dan gengsi sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar